karena apa yang dapat di beri, bukan apa yang dapat di terima

Hari Pola Pikir

Paradigma terbentuk dari lingkungan dan di dalam keluarga, terkadang pembentukan pola pikir, nalar, sensitivitas dan naluri serta adat istiadat menjadikan seseorang berprilaku. Pada beberapa orang prilaku menjadi sebuah kekhasan, di mana orang tersebut berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari dan orang lain menjadikan orang tersebut sebuah ciri. Selanjutnya disebut sebagai pendidikan atau biasa yang disebut dengan sekolah. Pada kebanyakan orang memandang bahwa mereka yang mempunyai pendidikan berarti mereka yang mengetahui lebih dulu tentang isi dunia ini dari pada orang yang tidak berpendidikan. Orang yang tidak berpendidikan lebih mengutamakan naluri mereka dengan memberdayakan potensi pola pikir seadanya dalam artian pola pikir yang terbentuk sebagai karunia yang diberikan Sang Pencipta, karena manusia pada dasarnya diciptakan lebih mulia dari mahluk lain.

Pembeda manusia berpendidikan dengan manusia tidak berpendidikan menurut penulis adalah hanya tingkat pola pikir, secara otomatis pola pikir mereka berbeda, jika berpendidikan berarti dia harus bisa memanfaatkan potensi lahiriah manusia dengan menautkan beberapa bidang yang dikuasai pada beberapa hal/kasus sehingga berkembang ke dalam pola pikir yang sifatnya adaptif, kreatif, serta dinamis dan manusia model seperti ini biasanya bermanfaat bagi semua orang, mempunyai kedudukan di masyarakat,  mempunyai materi yang cukup, berwawasan, terpandang dan lain-lain. Sedangkan manusia yang tidak sama sekali mengenyam pendidikan, mereka akan berpola pikir bagaimana cara mempertahankan hidup, agar bisa diapresiasi oleh orang lain di lingkungannya. Seperti yang telah di bahas di atas bahwa pola pikir mereka terbentuk dengan sendirinya jika keadaan atau kondisi berubah dalam waktu cepat atau lambat, artinya dimana kehidupan mereka sedang tersudutkan secara naluri mereka akan berfikir bagaimana cara agar bisa dikendalikan, sehingga kehidupan mereka dapat berjalan sesuai dengan perubahan lingkungan sekitar.Manusia tipe ini biasanya kurang bermanfaat bagi semua orang, tidak mempunyai kedudukan di masyarakat, tidak  mempunyai materi yang cukup, kurang berwawasan,kurang terpandang dan lain-lain.

Dengan tidak mengindahkan norma kebudayaan yang secara otomatis berpengaruh di dalam berprilaku baik manusia berpendidikan maupun tidak berpendidikan. Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan dibanding dengan negara lain karena wilayahnya yang berpulau-pulau, ini menunjukan bahwa keberagaman pola pikir pun berbeda-beda, bahkan berada di satu pulau pun, asal wilayahnya sudah jauh perbedaan tersebut sesudah sangat terasa. Kebudayaan sebagai salah satu faktor lahiriah yang memotivasi seseorang dalam berpola pikir yang sebenarnya jika disadari dapat berubah-ubah sesuai dengan lingkungan, karena dapat dikatakan manusia mahluk sosial.

Pada ahirnya kebudayaan di suatu lingkungan dapat merubah pola pikir manusia baik yang berpendidikan maupun yang tidak. Dapat dikatakan manusia yang baik adalah manusia yang bisa menghadapi arus kebudayaan secara linier dengan tidak melupakan asal usulnya. Pembuktian telah banyak manusia, baik yang berpendidikan maupun yang tidak dirasa berprilaku berubah-ubah sesuai dengan kondisi awal mereka, mungkin keadaan ini disebabkan karena ketahanan yang kurang terbawa arus kebudayaan yang lebih dominan dari pada kebudayaan asal-usulnya. Perubahan pola pikir tersebut memang ada yang bersifat positif artinya perubahan pola pikir yang tadinya kurang bisa diterima di masyarakat umum, sekarang mulai bisa diterima atau sebaliknya yang tadinya positif menjadi negatif.

Baik manusia berpendidikan maupun tidak, hal ini memang sulit sekali dihindari. Beberapa manusia berpendidikan mengatakan bahwa “kami akan mengubah dunia dengan ilmu kami!”, tapi bagi manusia yang tidak berpendidikan mengatakan “kami akan mengubah nasib kami dengan sebisa mungkin!”. Pendidikan yang seharusnya mengubah pola pikir menjadi lebih linier, tidak arogan, lebih bijak dan berlapang dada, akan berubah pada prakteknya menjadi sebaliknya karena prilaku dan kebudayaan yang sudah termodifikasi ke arah negatif. Prilaku manusia yang seharusnya dikarenakan kebutuhan yang mendesak karena arus global kian cepat akan menjadi kian giat, semangat, dan bekerja keras, akan berbanding terbalik dengan maraknya tindakan kriminal yang ada di rimbunnya hutan belantara dunia ini.

Sebuah contoh kasus agar pembaca mendapatkan gambaran ; si A menikah dengan si B, si A adalah seorang wanita dan si B adalah seorang pria, mereka dibesarkan pada dua kebudayaan yang bertolak belakang. Si A berlatarkan kebudayaan yang menganggap bahwa manusia itu harus santun, saling menghargai, hormat kepada adat istiadat, dimana bumi dipijak langit pun dijunjung, dan lain-lain. Sedangkan si B berlatar kebudayaan yang menganggap bahwa manusia itu harus mempertahankan hidup bagaimana pun caranya, temperamen merupakan satu-satunya agar tidak tergilas roda kehidupan, menganggap hal biasa padahal hal tersebut luar biasa pengaruhnya bagi orang disekitarnya, arogansi adalah cara tepat untuk berkehidupan, dan lain-lain. Terjadilah perang kebudayaan yang berujung adalah pergumulan ketidakcocokan antar kedua pasangan tersebut, yang jika terlihat orang lain sebenarnya mereka cocok-cocok saja.

Dalam peperangan tersebut pastinya ada yang kalah dan ada yang menang, mungkin karena cinta, kasih sayang yang terlanjur sudah melekat di hati akhirnya salah satu dari pasangan tersebut mengalah. Dalam hal ini tergantung siapa yang kebudayaannya sangat kuat atau dominan mereka  pasti yang menang dalam peperangan. Dalam cerita akhirnya si A pun menyerahkan kebudayaannya tergilas oleh norma adat istiadat si B, si A akhirnya meniru dan berusaha menyesuaikan dengan kebudayaan si B melalui sikap arogansi yang sudah ditanamkan oleh si B kepada si A. Sayang seribu sayang jika si A memang berpendidikan atau tidak, seperti yang sudah diurai di atas seharusnya akan sangat mudah jika memang kondisi seperti itu bisa dibuat linier, dalam artian bahwa kondisi dimana dia harus membagi hati dengan tidak mengindahkan norma adat/kebudayaan yang dia telah miliki sewaktu kecil (tetap pada jalurnya).

Ada contoh kasus lain, misalkan si B sekolah hingga jenjang perguruan tinggi dimana tempat sekolah si B merupakan tempat sekolah favorit, si A pun ternyata sekolah di tempat dimana jenjangnya setaraf dengan si B, akan tetapi tempat dimana si A sekolah bukan merupakan sekolah favorit. Dalam perjalanannya jika dilihat secara kualitas, pasti berbeda antara sekolah favorit atau tidak, sebagai contoh si B dalam menyelesaikan studinya tersendat karena proses yang cukup sulit sedangkan si A dengan sangat mudahnya lulus karena proses yang tidak terlampau sulit. Disini dapat kita menyaksikan bahwasanya kualitas institusi dapat juga mempengaruhi pola pikir seseorang dalam berprilaku selain dari pengaruh kebudayaan.

Beberapa pegawai senior di suatu institusi biasanya apabila tidak terpapar pendidikan yang secara otomatis ter up to date, mereka akan berfikir bahwa “kami yang lebih dulu disini, jadi kami yang seharusnya bisa menentukan kebijakan kemana arah armada ini akan dijalankan!”. Padahal semua kebijakan yang dibuat sungguh tidak masuk akal bagi bawahan yang notabene mereka sudah terpapar oleh beragam ilmu dan kebudayaan baru. Ditambah lagi apabila mereka semua mengenyam pendidikan lanjut dimana tempat mereka sekolah merupakan tempat yang bisa melegalkan segala cara untuk memperoleh gelar akademik (BESAR KEPALA).

Di beberapa institusi yang di sebut favorit pun ternyata dalam mencetak tenaga profesionalnya, menghasilkan beberapa manusia yang siap guna, akan tetapi tergantung dalam hal tertentu juga. Kondisi seperti ini membuat sebuah pola pikir yang kaku, fragmatis, kebanggaan institusi yang mendalam, sehingga apabila di kombinasikan dengan manusia yang sekolah di tempat yang biasa-biasa saja akan menjadikan permasalahan hebat dalam berkehidupan bersama. Kecenderungan sifat dasar manusia itu apabila keyakinan sudah di tetapkan sebagai tujuan hidup pribadi yang mereka nilai baik tanpa mengedepankan unsur manusia sebagai mahluk sosial memang sangat sulit walau gampang dirubah (di luar norma agama).

Pada kenyataanya baik manusia berpendidikan atau tidak, tetap saja kembali lagi ke dalam diri masing-masing, apakah kita termasuk orang yang bisa beradaptasi atau tidak. Keseimbangan hidup itu akan lebih baik apabila manusia bisa menempatkan diri dimana dia berposisi, maksudnya terkadang ke kanan, terkadang ke kiri, tapi tetap satu tujuan yaitu mencapai suatu jalan yang lurus. Sebagai contoh logik, apabila kita sedang menaiki kereta api, apa yang terjadi jika antara rel dan roda tidak satu jalur? kadang berhenti, menurunkan penumpang, kadang berjalan perlahan dan cepat, kadang melintasi palang penjaga pintu di jalan raya, dan lain-lain.

Kesimpulan banyak manusia yang berpendidikan sukses dalam menjalankan hidup, tapi banyak juga orang yang tidak berpendidikan menjalankan hidupnya lebih sukses dari yang berpendidikan, begitupun sebaliknya banyak orang berpendidikan gagal dalam menjalankan hidup bahkan banyak juga yang bertindak bodoh, apalagi yang tidak berpendidikan. Hal semacam ini meudah-mudahan akan menjadi wacana bagi para pembacanya khususnya penulis itu sendiri. Thanks semoga bermanfaat, saran dan kritik yang membangun akan lebih bermanfaat bagi penulis karena sempurnanya hanya milik Allah.

(bila ada kemiripan kisah dengan para pembaca, mohon dimaafkan bukan maksud menjatuhkan akan tetapi coba kita introspeksi diri kita agar diri kita bisa lebih baik, karena sesungguhnya jika diri kita dilihat dari ribuan bahkan jutaan galaksi di luar angkasa sana diri kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sebutir debu)

Tinggalkan komentar